Kamis, 04 Februari 2010

Orang-orang Jogja itu Pergi ke Jakarta

Menjadi pengalaman baru ketika identitasku sebagai orang Jogja itu menjadi bagian yang menonjol dari diriku ketika berkesempatan mengunjungi Kedutaan Besar Jerman di Ibu Kota. Tidak pernah terpikirkan bahwa aku menjadi bagian dari “orang-orang yang dipandang berbeda” (setidaknya di negeri ini) apalagi mendapatkan tatapan yang penuh unsur-unsur stereotype dan prejudice dari mereka yang kulitnya sama cokelatnya dan rambutnya sama hitamnya dengan diriku. Tentu saja sempat muncul rasa kesal, tersinggung, ketidaksukaan spontan dan jika diingat-ingat sampai sekarang pun masih, hehehe..tapi kemudian aku berusaha mengingatkan diri bahwa orang-orang seperti itu adalah mereka yang masih terkukung dalam tempurungnya sehingga masih terjebak dalam polah tingkah dangkal alih-alih mengembangkan sikap penuh toleransi dan menghargai.


Pengalaman mengujungi Jakarta selama beberapa hari yang lalu dalam rangka membuat visa memang sangat mengesankan. Sejak awal sudah ada tanda-tanda bahwa ini tidak akan menjadi perjalanan yang biasa-biasa saja and I mean it... SEJAK AWAL. Keberangkatan kami dari Jogja sudah dihebohkan dengan kedatangan beberapa teman di stasiun kereta in the last minutes sebelum kereta berangkat (dengan cengiran lebar yang membuat kami yang menunggu sangat ingin menimpuk mereka ramai-ramai) dan tentu saja itu kekrisuhan semakin terasa sempurna dengan tertinggalnya satu orang teman di stasiun kereta. Menurut sang pelaku, dia hanya bisa memandang kereta yang telah melaju dengan muka pasrah dan tanpa daya lalu mau tak mau harus merogoh kocek  ekstra untuk membeli tiket baru kereta yang akan berangkat di jadwal selanjutnya. Sementara hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah teman yang satu itu, kami yang berada di kereta berusaha mengisi waktu 12 jam perjalanan dengan seproduktif mungkin...makan bekal jajanan...nggosip...lomba ngisi TTS dan merencanakan makanan yang akan kami beli di pemberhentian selanjutnya (apologie-nya si kapan lagi to bisa naik kereta rame-rame gini, dibayarin lagi, hohoho....)  Toh pada akhirnya kehebohan 10 anak manusia yang tentu saja banyak menuai umpatan oleh penumpang disekitarnya dikarenakan ke-berisik-an dan kenorakannya harus berhenti ketika hukum alam menunjukkan kekuasaannya...alias kita mulai ngantuk sodar-sodara. So, satu persatu tubuh mulai bergelimpangan dan berlayar ke alam mimpi, tak terkecuali akula. Tapi sungguh, tidur dengan posisi duduk tanpa alas kepala itu sangat tak nyaman sekali, apalagi dengan adanya teriakan “mijon...mijon...popmi...popmi” non stop 24 jam, so tiap 10 menit sekali aku terbangun untuk mengubah posisi sambil membatin dengan kesal...who on earth can sleep well in this situasion???!!!  Jawabnnya ternyata nggak jauh-jauh dariku, Dodi yang duduk si sampingku dan memiliki prestasi bisa makan nasi padang di hari-hari pertama memakai gigi kawat, tak bergerak layaknya mayat. Sempat khawatir juga tuh anak dah jadi mayat betulan gak ya?! :p
Melewati malam penuh perjuangan untuk bisa tidur tentu menguras tenaga, mental dan juga duit...(ya kan nggak tidur ujung-ujungnya kegoda juga buat beli jajanan yang dijajakan wora-wiri tanpa henti). Untungnya akhirnya kami berkesempatan untuk beristirahat sejenak di tempat yang telah dipersiapkan sebelum menuju kedutaan.

Menjelang siang kami akhirnya diantar menggunakan mobil menuju kedutaan. Mempertimbangkan kapastitas mobil yang tak mencukupi kami dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing berangkat dari lokasi yang berbeda. Melintasi jalanan Jakarta yang penuh macet dengan pemandangan ruwet di mana-mana membuatku dan beberapa teman memutuskan dengan tekad bulat bahwa kami tidak akan tinggal di Jakarta! (lhah njuk ngopo...kayak warga Jakarta ngarepin kita ...). But it’s true! Jakarta is like a jungle...harus punya daya juang tangguh untuk bisa survive kecuali kamu adalah mereka-mereka yang d*m*n lucky lahir dengan membawa kalung dan cincin berlian alias dah tajir dari sononyee... Dan melihat itu semua tiba-tiba terbesit rasa rindu penuh haru pada Jogja..pada kosku...pada kamarku...pada kasurku dan bantal-gulingku (ujung-ujungnya cuma pengen tidur sebenarnya...)

Nah berhubung tak ada seorangpun dari kami yang tau jalanan Jakarta maka yang bisa kami lakukan adalah bersikap sok tau tentang Jakarta. Ketika memasuki kawasan Thamrin yang  menjadi patokan utama lokasi kedubes, pak sopir yang juga tak begitu paham kawasan ini akhirnya harus menjadi tumbal  kesoktahuan kami yang mengarahkannya ke jalan yang salah sehingga distop oleh seorang polisi. Dengan memohon-mohon, si pak sopir didukung oleh kami yang akhirnya ikut memohon dengan kata-kata “kami jauh-jauh dari Jogja”, “harus ke kedutaan besar jerman tepat waktu”, “tolong pak, tolong” (sumpah, rasanya pengen nyekek diri sendiri jika ingat itu) akhirnya s paki polisi dengan baik hati melepaskan kami dengan meminta kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi (plis deh...we are Indonesian people...don’t hope to much :p). Tapi rupanya kebodohan siang itu tak berakhir dengan mudahnya, terkaget-kaget melihat gedung kedutaan yang terpagar tertutup penuh setinggi 3 meter akhirnya kami yang kebingungan harus parkir di mana dengan mengambil keputusan untuk mencoba ke parkiran hotel sebelah dengan disaksikan teman-teman dari mobil satunya yang sudah berdiri di depan pagar dan  sama sekali tak memperlihatkan tanda-tanda akan memberikan panduan parkir sama sekali (asem tenan!). Ya bisa ditebak...setelah sempat melewati pos pemeriksaan superketat di gerbang hotel, kami akhirnya menyimpulkan bahwa parkir di hotel ini adalah ide buruk! Ya bayangin aja segerombolan orang dengan logat medok dan bahkan membawa-bawa koper besar keluar dari mobil dan alih-alih menuju hotel malah keluar dari area gedung...padahal di depan ada sekitar 6 satpam yang menunggu dan so pasti akan melihat kekonyolan kita itu bulat-bulat. So akhirnya kita hanya berputar dan keluar dari area hotel dan berkat mantra ampuh alias menanyakan pada satpan kedubes, kita diperbolehkan turun di depan gerbang pagar.

Bayanganku kami akan disambut dengan penuh sukacita oleh pihak kedubes (secara dah bikin appoinment getoh loh) tapi rupanya kami dibiarkan terpanggang di depan gerbang sampai jam janjian tiba. Sempat liat dubes keluar dengan penuh salting karena seolah-olah dikiri-kanannya sidambut anak-anak dengan tampang beraneka warna dari yang muali subbhanallah sampe yang naudzubilah akhirnya kami diizinkan masuk ke dalam. Cerita selanjutnya seperti yang kuceritakan di paragaraf pertama, (hufhh...mang yang sering bersikap sok ok tu “orang-orang yang di bawah ya”) dan sedikit inpo bahwa saat masuk kami discrenning lagi seluruh badan dan barang bawaan, dan diberitahukan kalo tidak boleh bawa hape dan kamere (duileeeh). Keliatan keren banget pengawasannya, tapi  rupanya di akhir kunjungan si Dodi dengan bangga menunjukkan keberhasilannya membawa hape ke dalam gedung, so satpam-satpam kedubes...kalian ternyata masih bisa dikadalin, HAHAHAHAHA...!!!! (anything buat meluapkan kekesalan dipandang cupu ma mereka deh!)

Tapi ya ternyata soal cupu mencupu, juaranya masih milik kami karena ketika semua masuk ke ruang bagian pembuatan visa, setiap anak tumpah ruah menyerakkan dokumen-dokumen segala penjuru ruangan dengan alasan klasik...belum selesai diisi! Ributlah semua orang...ngalor ngidul sana-sini...nyontek sana-sini (tapi ini contekan halalaltoyiban lho) sampai-sampai si ibu-ibu pengawas yang memang sudah (maafkan aku ibuuu) bertampang sangar semakin menyaingi buto ijo kengeriannya wajahnya dan itu semua ditutup dengan semprotan  mz-mz penjaga loket visa (ok, sebenarnya pasti ada istilah yang lebih keren, but i dunno what it is!) yang minta kami cepet mengumpulkan semua dokumen yang dibutuhkan. Dasarnya mang dah kena kutukan (astaghfirullah...ini cuma buat melebaikan cerita ya Allah, jangan benar-benar diberikan kutukan ya...), proses ini pun tidak berjalan secara  biasa karena setelah dicek semua anak masih memiliki kesalahan dalam setiap pengisian formulir sehingga memakan waktu hampir dua kali lipatnya. Sambil menuggu, berhubung dalam prosedur standar ada sesi wawancara maka kami (lagi-lagi dengan keilmuan sotoy yang kami miliki) berusaha menerka-nerka apa yang ditanyakan dan dengan (sok) canggihnya pula melakukan simulasi. Dodi (bukan apa-apa ya nama Dodi yang paling sering disebut-sebut di sini, but if u know him u know why-lah)dengan serius mengikuti sesi ini terlampau serius malah karena ketika kubilang bahwa cuaca di Jerman bisa membuat kawat giginya membeku di seratus persen terkejut full ekpresi percaya (aku yang nggak percaya kalo dia dengan mudahnya bisa percaya...mang selalu ada a orang-orang aneh di dunia ini....).
Pada akhirnya si mz-mz penjaga loket visa (masih nggak nemu istilah yang lebih keren nih) memanggil koordinator tim  untuk memberitahukan berapa hal sebagai berikut:
1.       Visa bisa diambil 2 minggu dari tanggal permohonan
2.       Tidak ada sesi wawancara
3.       Pembuatan Visa Gratis

Ok, pada akhirnya aku harus sedikit mengakui pandangan siapapun sepanjang perjalanan ke Jakarta baik di kereta maupun satpam-satpam di kedubes, bahwa kami norak, cupu, dan berisik!!! Ruangan yang sunyi berubah menjadi gegap-gempita oleh sorak-sorai mahasiswa-mahasiswa berkantong pas-pasan saat mendengarkan pengumuman terakhir. Kata GRATIS bagi mahasiwa seperti kata NAIK GAJI bagi PNS. Melodi paling indah yang bisa didengar oleh telinga manusia. Cengiran lebar tak putus-putusnya tersungging di bibir kami dan sampai keluar gedung bahkan senyuman satpam-satpam yang awalnya terlihat meremahkan begitu sedap dipandang mata...
Begitu manis akhir perjuangan hari itu meski kami lalu harus kembali ke realita bahwa perjuangan belum berakhir sampai di sini. Ada pundi-pundi yang harus dikumpulkan untuk menerbangkan kami ke negeri impian itu. Beberapa teman akhirnya stay di Jakarta yang lain pulang untuk berjuang di Jogja.
Sejak awal ini memang perjalanan yang penuh liku...tapi akhirnya kita telah sampai di sini...
Berusaha, berusaha dan terus berusaha...
Tentu dengan diiringi ribuan nada doa...

Semoga...