Kamis, 29 Juli 2010

DIARY


Seingatku sudah sejak bisa menulis dengan lancar aku mempunyai sebuah diary. Buku dimana biasanya kita menumpahkan segala kisah dan keluh kesah sehari-hari dan juga impian masa depan (halah..).
Diary pertama milikkku yang kuingat adalah ketika aku duduk di kelas 2-3 SD. Saat itu aku masih tinggal di Jerman, Diary-ku adalah buku kecil sederhana bermotif bunga-bunga yang dibelikan ibuku di toko alat tulis terdekat. Salah satu kisah paling sensasional yang kutulis saat itu adalah kekecewaanku yang mendalam karena orangtuaku membatalkan niat kami untuk menonton pertunjukkan kembang api di atap apartemen sebelah saat tahun baru. Bak sinetron masa kini aku menangis dalam diam ketika hampir jam 12 malam ibuku dengan tegas berkata, " sudah, lanjutkan tidurnya." Berkeping-keping hancurnya hati ini apalagi mengingat pertunjukkan serupa tahun lalu yang membuat mulutku menganga-nganga penuh kekaguman. Bertahun-tahun setelah aku kembali ke Indonesia dan membaca kisah itu satu-satunya yang membuatku menganga-nganga adalah kepiwaianku bercerita dalam bahasa Jerman...busyet, canggih banget jek. Sekarang mah taunya cuma, Mein name is Ika...Ja Ja..Nein..Nein.... T.T
Ketika kembali ke Indonesia Diaryku berganti rupa..serupa buku sakti ibu-ibu tukang kredit. Polos..tebel! Ambisiki saat itu adalah merangkai kisah keseharianku secara rutin sehingga suatu hari nanti bisa jadi objek kenangan yang berharga. Apa daya..mood-lah yang menentukan. Tidak puas dengan motif satu Dairy berganti lagi ke motif yang lain. Akhirnya menjelang lulus SD ada 4-5 Diary yang kupunya. Semuanya hanya terisi sampai setengahnya. Tapi rupanya seragam: buku sakti ibu-ibu tukang kredit.
Masuk SMP rupa Diaryku naik tingkat. Pink, sampul berbahan plastik, kertas pun warna-warni. Aku bisa mengganti kertas-kertasnya sesuka hati karena Diaryku ada sistem buka tutupnya (kayak istilah di jalan raya aja). Empatpuluhriburupiah...harga fantatis untuk seorang anak kelas 1 SMP saat itu. Entah dari mana aku lupa bagaimana bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Aku ingat saat membelinya aku begitu seriusnya menyembunyikan Diary itu dari orang tuaku (yang membuktikan bahwa aku memperoleh uang itu secara ilegal, baca: korupsi uang jajan). Tapi nasibnya pun tak beda dengan para pendahulunya. Akhirnya ia tersingkirkan. Pink...ah tak keren. Yang penting isi bukan rupa, begitu prinsipku saat itu. Maka Diaryku berganti jadi Binder sederhana ala catatan kuliah mahasiswa sekarang. Susah payah kuhiasin sampulnya,,tempel poto, bikin judul warna warni, lem ornamen sana-sini...tapi akhirnya ia pun teronggok di salah satu sudut lemariku.
Masuk SMA, prinsip "yang penting isi bukan rupa" semakin menguasasi diriku. Diaryku turun kasta jaauh ke buku tulis biasa. Cukup rutin aku menulisnya meski tidak bisa dibilang rajin. Di sini aku mulai bermain warna dan gaya penulisan macam: 4ku lgeeh syeebel ma kmyuuh. (Thanks God, nggak lagi gitu, jadi bulan-bulanan entar.. hufh). Meski sempat turun kasta bukan berarti aku tak mau maju. Terbanglah aku ke dunia digital. (Sok) capek dengan menulis biasa kuberalih menuangkan cerita melalui komputer. Semangad berhari-hari menuangkan kisah cinta gombal bin bodohku baru kusadari bahwa tulisanku bisa diakses oleh siapa saja yang membukan komputer. Dengan panik aku mencari-cari aplikasi password lalu ketemulah. Masalah seolah beres sampai kusadari bahwa komputer ini ada di wilayah publik keluarga. So setiap saat tanpa kusadari ada orang yang bisa saja mengintip saat aku sedang mengetik. Maka beralihlah masa-masa kumerasa jadi salah saru manusia modern abad ini. Kuhapus semua dokumen pribadiku dengan hati yang tak rela (saat itu yang namanya flashdisk masih mahal jek, bapakku beli yang kapasitasnya 128 Mb aja masih 200ribuan,, huek). Kembalilah aku ke kasta terendah...buku tulis biasa.
Masuk kuliah..persoalaan pen-diary-an sementara terlupakan. Sibuk sebagai orang udik baru di kota besar. Baru ketika memiliki komputer terbesit niat untuk menulis kembali. Namun niat tinggalah kenangan, komputer lebih sering dipakai untuk menonton tivi (bahkan ngerjain tugas kuliah pun sering kali dinomorduakan :p). Sempat beralih lagi ke Dairy konvensional..tapi sama seperti yang lalu-lalu, aku tak bisa memantabkan hati setia pada satu saja (ingat jek,,,case-nya ini Diary lhooo..bukan untuk yang lain). Berganti rupa dan warna sesuai dengan mood. Tak pernah ada yang tamat sampai halaman akhir.
Baru setelah punya lepy pribadi (terharu jika mengingat perjuangannya, hiks) aku bisa memantabkan hati untuk menulis cerita secara rutin dan tak lagi berpaling hati. Beberapa kali sempat tergoda memang tapi setelah melihat si lepy yang masih begitu menggoda (macam abang-abang liat gadis cantek saja aku) urunglah niat itu. Oooh lepy i love u full deh.

So, aku dan Dairy punya kisah yang sangat panjang. Jika dikumpulkan mungkin ada sekitar 20 Diary yang kupunya. Semuanya menyimpan potongan-potongan kisah hidupku. Hanya saja baru kusadari, jikapun semua potongan itu disatukan, tak banyak yang terungkap dari diriku. So actually I am a bad Diary writer. Sampai sekarang aku tak berani bercerita benar-benar menuliskan apa yang kurasakan dan kupikirkan tentang suatu hal. Selalu ada kekhawatiran bahwa Diary ini suatu hari akan jatuh pada tangan yang salah (so, beside a bad writer, saia juga  parnoan!). Jadi apa gunanya saya menulis Diary? Bukannya seharusnya Diary itu menjadi media kartasis demi menjaga kesehatan jiwa (begitu kata temen-teman saya yang belajar psikologi)? Apa gunanya kalau yang utama masih terpendam di dalam hati? Well,,, tak ada jawaban yang cukup memuaskan mungkin. Pertama, saya hanya menikmati menulis. Kedua, memikirkan apa yang seharusnya tidak saya tulis justru memberikan kesempatan kepada pikiran dan jiwa saya untuk berdialog berusaha menghadapi masalah tersebut,,,lalu semuanya akan terasa sedikit lebih baik.

Jadi, mari kita menulis!
(sakjane ki mung arep ngomong iki wae :p)